Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link

Media Massa Provokator dan Sembrono?

1303190872562857280
Ilustrasi-Media/Admin (shutterstock)

Media Provokator.

Kata provocator sebenarnya tidak memiliki arti dalam kamus bahasa Inggris. Kata provocator itu datang dari bahasa Yunani— PROVOCATORAS, bahasa Latinnya adalah provocare dan bahasa Perancis dikenal dengan sebutan provocature. Kita di Indonesia mengenalnya dengan istilah provokator. Ada yang mengatakan “Provocator simply means— A person who acts violently against someone or the system, and blames somebody else. Tapi untuk istilah provokator di Indonesia lebih luas lagi. Bukan hanya seseorang tapi juga sebuah lembaga, organisasi bahkan media massa bisa dianggap sebagai provokator selama mereka melakukan sesuatu yang memprovokasi orang banyak. Memprovokasi opini publik.


Sedangkan tindakan yang dapat memancing, memicu, memompa reaksi, dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan provocative.

* (n.) Anything that is provocative; a stimulant; as, a provocative of appetite.

* (a.) Serving or tending to provoke, excite, or stimulate; exciting. (Thinktext Dictionary) Kalau provokable adalah sesuatu yang dapat dengan mudah terprovokasi atau diprovokasi, contoh: Agama, Ras dan Suku. Ketiga hal ini sangat rentan untuk terprovokasi.

Ada istilah “Bad news is great news”. Tapi buat siapa? Buat Media Massa, industri penerbitan dan penjual koran! Lihat saja ketika issue bom merebak, penjual koran di salah satu toko kecil yang saya survey, melonjak 50%. Biasanya rata-rata ia menjual 50 koran sehari, naik menjadi 100. Ternyata setiap ada “bad news” sebut saja masalah bom, kerusuhan dan pembunuhan maka oplah akan meningkat secara signifikan.

Menurut ahli komunikasi massa Harold D Lasswell dan Charles Wright (1954) ada empat fungsi sosial dari media massa, yaitu sebagai social surveillance, kemudian sebagai social correlation, lalu berfungsi sebagai alat sosialisasi dan fungsi entertainment. Yang menarik adalah fungsi pertamanya, media massa sebagai social surveillance yang seharusnya akan senantiasa merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi seobjektif mungkin mengenai peristiwa yang terjadi, dengan maksud agar dapat dilakukan control sosial sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam lingkungan masyarakat bersangkutan, sudah mulai bergeser.

Realitas sekarang menunjukkan, media cukup strategis mengambil alih posisi sekaligus pihak lain (misalnya; opinion leader, kaum intelektual, agamawan, tokoh sosial, pendidik) yang selama ini aktif menjadi panutan dinamika, sekaligus sumber informasi untuk acuan pendapat maupun sikap masyarakat. Sejak hadir kebebasan pers dan menjamurnya media elektronik yang menyajikan beragam pesan komunikasi, amat terasa media menjadi “nabi baru” yang cukup mempengaruhi sebagian besar kehidupan masyarakat. (Muchamad Yuliyanto, 2005)

Lalu kenapa media massa baik cetak maupun elektronik dapat berubah menjadi provokator? Sekarang mari kita lihat beberapa case di bawah ini: Manado Post hari Minggu 17 April yang lalu, memberitakan secara besar-besaran di halaman depan, dengan judul yang di bold dan segede telunjuk, serta memakai hampir setengah halaman, berita mengenai ditemukannya sebuah bom. ” Teroris Terobos Jantung GMIM.” Bom itu katanya ditemukan di gedung Sinode GMIM yang berlokasi di Tomohon, salah satu Gereja terbesar di Sulawesi Utara. Koran itu memberitakan bahkan secara rinci kronologis hingga bom itu ditemukan. Padahal saat itu beritanya masih simpang siur, tapi opini publik sudah terbentuk. Hampir semua koran lokal memberitakan hal yang sama.

Kemudian secara sadar atau tidak sebagai pembaca, kita sering begitu cepat terprovokasi dan ikut-ikutan menjadi “provokator” dengan mengirimkan sms berantai serta pesan-pesan melalui Facebook. Padahal kepastiannya kita tidak yakini dan kebenaran berita belum akurat. Ooh, ternyata kita juga turut menyebarluaskan berita yang belum tentu benar. Menahan diri dan bijak dalam bersikap adalah langkah konkrit yang seharusnya kita ambil.

Dan itu terbukti, hari Senin tanggal 18 April, koran yang sama dan juga Harian Komentar membertitakan berita yang sama sekali berbeda. Bertolak belakang. Masih di halaman yang sama, halaman pertama dengan judul yang sama gede, berita bahwa paket di kantor Sinode GMIM itu ternyata bukan bom! Apakah perlu memberitakan sesuatu secara bombastis padahal keabsahan berita tersebut masih tanda tanya? Okelah semua media memang berlomba-lomba mendapatkan berita yang aktual dan demi mengejar oplah, menaikkan omzet penjualan dan segala yang berkaitan dengan itu. Tapi bukankah media juga bertanggungjawab untuk membawa damai, menjadi pemberita yang bijak, menenangkan dan menetralisir keadaan, bukan malah jadi pemicu konflik. Menjadi corong yang menyuarakan fakta daripada sekedar mengejar rating. Sekedar demi mengejar sales target semata.

Lihat saja, akibat dari pemberitaan tersebut sebelum adanya “berita ralat” sejumlah pemuda GMIM akhirnya “harus” turun ke beberapa Mesjid untuk menjaga dan mengamankan dari berbagai kemungkinan. Ketua Sinode sendiri telah menyampaikan pidato khusus supaya warga GMIM tidak terpancing dengan usaha-usaha sekelompok orang yang mungkin berupaya memprovokasi warga untuk menyalahkan umat Muslim setempat. Bahwa keadaan bisa terpicu sebagai upaya pembenaran kalau memang mereka yang melakukan teror tersebut. Padahal tidak ada bukti untuk itu. Tidak semua media massa seperti itu, tapi hendaknya menjadi bahan pembelajaran buat semua.

Harusnya kalaupun memang ada percikan api, kewaspadaanlah yang perlu ditingkatkan, makanya dituntut kearifan media massa untuk tidak menyiram percikan api itu dengan minyak tanah atau bensin, tapi siramlah dengan air. Jadilah media penyejuk bukan penyulut. Untunglah, kerukunan umat beragama di SULUT sangat kuat. Itu terbukti dengan pemuda Muslim yang menjaga beberapa gereja dan sebaliknya pemuda Kristen menjaga mesjid-mesjid setempat. Kerukunan itu sudah berlangsung lama di SULUT.
Banyak juga di antara para jurnalis/wartawan yang tidak peka terhadap situasi yang sedang berkembang, apalagi tidak sedikit wartawan yang belum memiliki kemampuan dalam memisahkan fakta yang dijadikan bahan berita dengan opini pribadi si wartawan itu sendiri. Sering terjadi wartawan yang bersangkutan tidak bisa memisahkan yang mana fakta dan yang mana opini pribadinya. Jadi kalau wartawan tersebut tidak suka dengan suatu golongan tertentu, maka pemberitaannya akan menjadi berat sebelah dan tidak fair lagi.

Media Sembrono, Salah Kutip, Salah Ucap dan Asal Jadi.

Bahasa pers, terlebih yang tertuang pada sejumlah media massa di daerah, banyak yang salah kaprah. Tidak hanya dalam penggunaan istilah asing, namun juga kosa kata yang tidak sesuai konteks kalimat yang tertulis. Tidak sedikit kata yang tertuang merupakan unsur bahasa prokem. Sebagai unsur bahasa prokem, tentu kata atau morfem yang tertulis dalam suatu karya jurnalistik yang dimaksud, sama sekali tidak mengacu kepada pemaknaan leksikal. Ketaatan terhadap pemaknaan leksikal merupakan kesepakatan secara nasional bagi para pemakai bahasa Indonesia secara formal, termasuk dalam karya jurnalistik di media massa (Yanes Setat, pemerhati dan praktisi jurnalistik PK)
Media kita sering prejudice dan cepat sekali mengambil kesimpulan, misalnya berita live saat mewawancarai seorang warga yang menyebutkan orang yang di dalam rumah adalah mirip Noordin, langsung muncul tulisan di banner news “Noordin berada di dalam rumah yang dikepung”.. Padahal tidak factual. Mereka tidak memiliki fakta yang aktual
Kecepatan penyampaian berita memang perlu dalam dunia pers, tapi apa tidak sebaiknya menahan diri sebentar untuk kemudian menggali informasi lebih dalam, agar berita yang disampaikan tidak malah bikin malu diri mereka sendiri kemudian hari?


Mari kita menyelam lebih dalam lagi….

* Ada berita di Metro TV yang pernah saya tonton, mereka salah kutip apa yang dikatakan oleh Jusuf Kalla dalam suatu wawancara telephone. Jumlah nominal sekian tapi di tuliskan sekian. Kesalahan dengan selisih yang sangat besar, kesalahan yang seharusnya tidak terjadi di media sekelas mereka.

* Koran Kompas tanggal 9 April memuat berita di halaman depan sebagai berikut, Presiden Yudhoyono Diabaikan dengan sub-judul, Marzuki Alie: Pembangunan Gedung Baru DPR Mengacu Presiden. Apa maksudnya ini?

* Sebuah majalah bulanan di Amerika Indonesian Journal, beberapa tahun yang lalu pernah memuat berita tentang warga Indonesia yang bunuh diri di KJRI NY, padahal saat itu faktanya belum jelas. FBI dan pihak kepolisian masih sementara melakukan identifikasi tingkat lanjutan.

Jangankan media-media di Indonesia, media yang sudah ternama pun pernah mengalami hal serupa, sebut saja;

* Sebuah majalah local di Jersey City pada tahun 2008 yang lalu dituntut, gara-gara memberitakan sesuatu yang sangat tendensius dan memojokkan ras tertentu tanpa fakta yang akurat.

* Majalah TIME pernah menulis berita tentang Hillary Clinton “….It helps that no one doubts her courage, toughness or brains and that everyone knows who she is.” Faktanya, harusnya NOT everyone knows who she is. Iya kan?

* Majalah TIME, Edisi 173.No.18 pada halaman 42 juga pernah menulis berita tentang Presiden SBY, ada kalimat ini “….The country’s transition from authoritarianism has proved that as a democracy, Indonesia can be culturally vibrant and economically prosperous.” Kalau kita teliti kata “has proved” artinya adalah sudah terbukti. Tapi benarkah itu sudah terbukti? Atau pada saat itu harusnya lebih tepat dengan “will prove” saja?

* Seorang anchor (pembawa acara) FOX News yang sangat terkenal melakukan kekeliruan luar biasa memalukan dan fatal, disaksikan jutaan pemirsa. Ia menyebut curb job and BLOW JOB from Jennifer Lopez? Wow…! Apa yang ada di benak penyiar itu yah? Videonya ada di Youtube dan sudah disaksikan lebih dari 1 juta orang, silahkan lihat di sini http://www.youtube.com/watch?v=CIOREqBcFuY Setelah itu sang anchor bilang “I have no idea how that happen but it won’t happen again” Benar-benar memalukan. Mungkin yang ada di benak sang penyiar adalah pikiran kotor tentang si Jenny Lopez.

* Sebuah video yang di tayangkan TV di California mendapat kritik tajam. Apa pasal? Video yang diproduksi oleh Project Dignity sebuah kelompok aktivis dari Orange County California itu dianggap melecehkan orang-orang yang seharusnya mereka bantu. Para tuna wisma, gelandangan dan peminta-minta. Video tersebut sebenarnya bertujuan baik, memberikan tips serta masukan-masukan tentang kesehatan dan keselamatan para gelandangan tersebut. Masalahnya, video itu berjudul “The Fine Art of Dumpster Dining”. Seni jamuan makan tempat sampah…?

Masih banyak contoh betapa media ternyata bisa menjadi provokator, sembrono dan memutarbalikkan fakta, salah kutip, salah ucap. Kesalahan-kesalahan yang seharusnya tidak terjadi kalau media-media tersebut memiliki kepekaan dan integritas yang mumpuni. Yang tidak hanya memikirkan keuntungan sebesar mungkin yang dapat diraih, tetapi juga memikirkan kepentingan publik. Kepentingan “masyarakat pembaca” dan “masyarakat penonton.”

Akhirnya untuk para jurnalis/wartawan, kalau kalian terlalu lelah, capek dan tidak kuat lagi untuk membuat berita yang berdasar fakta, akurat, tidak nyleneh dan asal jadi,…”Laat die fax eens met rust, ga eens met vakantie!” “…Coba tinggalkan kertasmu itu, pergilah berlibur!”

Michael Sendow

 sumber : http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/04/19/media-massa-provokator-dan-sembrono/

Posting Komentar