Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link

Naikkan Nilai Anak Saya, Saya Akan Bayar Berapapun yang Ibu Minta!

Peristiwa ini terjadi 8 tahun yang lalu. Satu peristiwa yang mengoyak harga diri saya sebagai seorang guru dan sungguh sulit untuk dilupakan.
Sore itu, saya sedang memandikan si sulung saat telepon di rumah berdering. Telepon dari seorang bapak dari siswa saya. Sesaat setelah basa-basi perkenalan, si bapak pun mengutarakan maksud dan tujuannya menelpon saya di sore yang sebenarnya indah.
“Maaf, bu, saya dengar Ibu memberikan nilai 4 di raport untuk anak saya, apa tidak bisa diubah?”
Nilai raport? Bukankah pembagian raport baru besok lusa? Kenapa si bapak sudah tahu kalau anaknya dapat nilai 4 di raport untuk pelajaran saya?
“Darimana Bapak tahu, kalau nilai Fisika anak Bapak 4? Pembagian raport baru hari Sabtu, Pak?”
“Ya, kebetulan ada yang menyampaikan ke saya…”
Awalnya si bapak memang tak mau menyebutkan siapa yang membocorkan nilai raport anaknya itu. Tapi meski begitu saya bisa menebak siapa yang membocorkannya. Wali Kelas! Siapa lagi? Bukankah sebelum raport dibagikan hanya wali kelas yang tahu selain guru bidang studinya nilai raport tersebut? Toh, setelah didesak si bapak akhirnya mengakui memang wali kelas yang membocorkan nilai-nilai anaknya kepada si bapak. Untuk apa? Ternyata siswa yang bersangkutan terancam tidak naik kelas karena setidaknya ada 3 orang guru yang memberikan nilai 4 selain saya!
Sambil berusaha menahan emosi, saya katakan pada si bapak alasan saya memberikan nilai 4 kepada anaknya. “Anak Bapak tidak pernah sekalipun ikut ulangan harian dan tak pernah mengumpulkan tugas-tugas dari saya. Selain itu, selama 1 semester ini anak Bapak hanya mengikuti 25% dari seluruh pertemuan pada pelajaran saya, Pak! Lantas saya harus menghitung nilai milik siapa kalau tak satu pun nilai dari anak Bapak yang ada di saya kecuali nilai ulangan akhir semester? Itu pun nilainya tak lebih dari 2!”
“Saya tahu, Bu, anak saya memang malas dan sering bolos…dia memang bandel! Tapi apa Ibu tidak bisa mempertimbangkan lagi nilai anak saya? Saya orang terpandang, Bu dan sudah berhaji beberapa kali!”
“Memang kenapa kalau Bapak sudah haji? Saya belum pernah berhaji satu kali pun! Dan rasanya tak ada hubungannya dengan nilai anak Bapak….”
“Maksud saya, saya sanggup membayar berapapun asal Ibu mau menaikkan nilai anak saya…!”
WHAT?Emosi yang sudah saya tahan-tahan, akhirnya tak terbendung lagi! Sungguh saya sangat sangat tersinggung dan marah sekali saat itu!
“Bapak haji yang terhormat! Saya memang miskin harta tapi tidak miskin harga diri! Saya memang belum haji, tapi saya masih mengingat jika Allah tidak pernah tidur! Jadi maaf, saya tidak bisa mengabulkan permintaan Bapak!”
Telpon saya tutup dengan geram!
Esoknya ketika masalah ini akhirnya sampai ke telinga kepala sekolah dan menjadi poin penting dalam rapat pleno kenaikan, ada 2 kubu yg terjadi di ruang rapat. Sebagian guru menganggap saya sok suci, tak sedikit guru yang membela saya. Meski guru yang kontra (termasuk si wali kelas) menyudutkan saya dengan kata-kata sok idealis lah, sok jual mahal lah padahal hanya guru honorer! Saya tetap pada pendirian saya. Betul, saat itu saya memang masih berstatus sebagai guru honorer, tapi apakah lantas saya tak boleh bersikap tegas dan mau dibeli dengan uang?

Rasanya saya bukan guru yang sok idealis dan pelit dengan nilai jika tak ada alasan yang kuat. Sebagai guru pun sebenarnya saya lebih menghargai proses daripada hasil akhir semata. Saya sadar betul pelajaran yang saya ampu sering dianggap sebagai pelajaran yang memusingkan dan banyak siswa yang tak suka. Saya juga sadar setiap anak memiliki kecerdasan sendiri yang berbeda satu sama lain. Artinya tidak semua anak memiliki bakat dalam pelajaran eksak, seperti Fisika. Kalau saya egois dengan hanya menuntut hasil akhir ulangan semata mungkin sangat banyak siswa yang mendapatkan nilai rendah.Tapi sekali lagi, saya lebih menghargai proses, seorang anak yang memiliki nilai ulangan 1 sekalipun tapi dia kerjakan dengan jujur dan mau menunjukkan usahanya untuk bisa, mau mengerjakan tugas-tugasnya dan hadir di kelas, tentunya ada pertimbangan tersendiri dari saya. Bahkan saya sering memancing anak dengan reward ‘bonus nilai’ bagi mereka yang mau mengerjakan soal latihan di depan kelas. Semua siswa tahu rambu-rambu ini, karena selalu saya sampaikan di awal tahun pelajaran.
Saya tak ingin mereka menjadi generasi instan, yang menginginkan sesuatu dengan cara tidak benar! Mau jadi apa mereka nanti, jika kita sebagai pendidik justru mencontohkan hal-hal yang tidak bermoral?!
Ya, saya juga masih ingat peristiwa 4 tahun yang lalu. Saat itu, sekolah tempat saya mengajar sekarang termasuk salah satu sekolah dengan prosentase kelulusan terendah. Kepala sekolah saya ketika itu adalah seorang pribadi yang sangat menghargai kejujuran, dan tak mau ‘menyihir’ nilai anak dengan cara yang curang. Tapi apa yang terjadi? Seorang pejabat justru mencap beliau sebagai seorang yang sombong, tak memikirkan masa depan anak! Masa depan yang mana? Masa depan anak sebagai generasi dengan didikan kecurangan?
Semoga saja UN kali ini tidak menjadikan siswa-siswi saya menjadi pecundang. Semoga mereka menjadi seorang pemenang sejati!



sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/17/naikkan-nilai-anak-saya-saya-akan-bayar-berapapun-yang-ibu-minta/

Post a Comment