Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link

Nikah Bugis nikmat atau sengsara ??




Marilah kita urai satu per satu. Semua orang sudah paham bahwa pernikahan Bugis selalu menelan biaya besar dan ditanggung keluarga pria. Anda jangan mengira biayanya hanya satu atau dua juta rupiah. Biayanya bisa sampai puluhan juta untuk sebuah pernikahan yang standar alias biasa-biasa saja. Jika anda ingin yang lebih mewah, maka siap-siaplah merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah. Biaya mahal ini dikeluarkan untuk uang naik (panai’), uang belanja, mahar, serta menggelar resepsi megah.



Bagi orang Bugis, sebuah pernikahan bukan sekedar mempertemukan hubungan dua insan dalam satu mahligai. Sebuah pernikahan adalah arena yang mempertemukan dua keluarga besar dengan segala identitas serta status sosial. Inilah yang menyebabkan prosesnya menjadi rumit. Bayangkan, sebuah keputusan hendak dibuat dan harus melibatkan demikian banyak orang. Pastilah akan memakan waktu panjang sebab masing-masing ingin mempertegas eksistensinya.



Bagi orang Bugis, pernikahan adalah sebuah arena untuk menampilkan identitas sosial dan melestarikan garis silsilah serta posisi di tengah masyarakat. Memang, kita bisa mengatakan bahwa ini adalah warisan sistem feodal pada masa silam, namun jejak-jejaknya masih bisa ditemukan pada masa kini, khususnya pada momentum pernikahan. Jika anda hendak menikahi perempuan berdarah bangsawan (yang ditandai gelar Andi di depan namanya), maka perkirakan sendiri berapa biaya yang hendak disiapkan. Semakin mahal biaya pernikahan, maka semakin tinggi pula citra diri yang dipancarkan seseorang di masyarakat. Demi pernikahan mahal itu, seorang pria akan mengeluarkan segala daya dan sumberdaya yang dimilikinya demi mempertegas status sosialnya.



Banyak pria yang memilih merantau ke Kalimantan atau ke Indonesia timur demi meraup berlian dan menggelar resepsi nikah. Pernah seorang peneliti mengamati data perambahan hutan di Kalimantan, ia terkejut dengan fakta bahwa pelakunya banyak berasal dari etnis Bugis. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata motif utama perambahan hutan tersebut adalah demi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan digunakan untuk menggelar pernikahan di kampungnya sendiri.



Di satu sisi pernikahan itu jelas sangat memberatkan, apalagi kalau dilihat dari sisi migrasi dan kerusakan ekologis. Namun pada sisi lain, pernikahan itu justru meningkatkan etos kerja dan hasrat kompetisi bagi orang Bugis sendiri. Saya teringat pidato mantan Wapres HM Jusuf Kalla saat berada di Papua. Katanya, etos kerja orang Bugis sangat tinggi karena punya banyak keinginan-keinginan, termasuk keinginan menikah di kampungnya sendiri. “Mengapa orang Bugis rajin bekerja? Karena mereka punya banyak keinginan-keinginan. Mereka ingin menikah dengan panai’ (uang naik) yang tinggi. Setelah itu mereka ingin punya rumah. Setelah itu mereka mau naik haji. Kalau sudah haji, mereka ingin kawin lagi. Maka prosesnya kembali dari awal,” kata Jusuf Kalla.



Pengalaman saya menunjukkan bahwa ada banyak sisi-sisi lain yang saya temukan dan jarang dibahasakan dalam berbagai publikasi. Selama ini para akademisi hanya memperdebatkan mahalnya biaya pernikahan. Mereka justru tidak melihat sisi-sisi lain yang sesungguhnya penting dan menunjukkan bagaimana resistensi terhadap tradisi itu justru tumbuh secara perlahan di masyarakat.



Di masyarakat, biaya mahal itu sering menjadi sorotan. Akan tetapi terdapat begitu banyak jalan keluar sebagai mekanisme dalam kebudayaan demi menyiasati hal tersebut. Ini menunjukkan bagaimana dinamika serta pergeseran tradisi sekaligus resistensi kultural atas tradisi yang terlanjur kuat mengakar. Saya sering mendengar kisah bagaimana sebuah keluarga menyebut biaya nikah hingga puluhan juta rupiah, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Strategi ini ditempuh demi tetap menjaga citra di satu sisi, dan di sisi lain, tidak hendak terbebani dnegan biaya mahal tersebut. Inilah yang saya sebut dengan kata resistensi atas tradisi.



Pengalaman saya juga menunjukkan pentingnya posisi seorang negosiator. Saat dua keluarga bertemu dan merencanakan pernikahan, maka masing-masing akan menunjuk seorang negosiator yang bertugas menjadi utusan keluarga dan mendialogkan berbagai kepentingan atas nama keluarga. Seorang negosiator juga menjadi air sejuk yang mendinginkan situasi, dalam artian mencarikan jalan keluar demi memutuskan sesuatu. Keputusan tentang semahal apapun biaya pernikahan juga lahir dari proses negosiasi antara keluarga yang dimediasi oleh para negosiator. Jika seorang negosiator lihai, maka biaya pernikahan bisa ditekan, dan saat bersamaan, gengsi sebuah keluarga bisa pula dipertahankan

.

hehe terlepas dari pro kontara Pernikahan bugis saya hanya paparkan nih hasil investigasi penelitian aku
1)  Kita dapat melihat terutama soal tarikan antara gengsi orang bugis ( negosiasi posisi social kelompok kerabat ) yang berdasar ideal tentang bagaimana seharusnya sebuah kelompok kerabat dihargai dan kemampuan ril ekonomis yang semkin menyulitkan banyak calon mempelai terutama calon mempelai pria
2)  Dimasa sekarang hal ini masih terrus berlangsung bahkan bentuk simbolisasinya semakin vulgar “mahar” yang diumumkan ke muka public saat akad nikah ,yang menjadi salah satu penanda status social sponsor pernikahan dan ongkos pesta nyaris selalu berada di atas kemampuan keluarga calon mempelaui pria
3) Mengapa kalangan menengah ke bawah dengan gelap mata harus mengadopsi praktik penyerahan mahar yang semakin tinggi ,meniru saudaranya kelas atas hehe ini karena
4) Tidak banyak acara di masyarkat bugis yang mengandunng lebih banyak perwujudan simbolis maupun formal dan acara pernikahan menjadi semacam arena dimana hubungan hirarkis dan kompetitif digelar secara temporer ( hal 1)
5) Di masyarakat bugis acara –acara pernikahan menjadi tempat paling jelas mempertontonkan standar-standar baru bagi status social mereka
6) Bahkan saat pesta berlangsung terjadi pembedaan makanan yang disuguhkan serta jenis piring yang dipakai untuk hidangan tamu tamu tertentu ,detail-detail ini dikenal semua orang
7) Memang orang bugis sangat hemat dalam belanja harian ,untuk kenyaman atau bahkan kebutuhan agar mampu membeli keperluan status yang sesuai dengan kedudukan social mereka ,misalnya dalam membiyai pesta pernikahan ,atau memberikan sumbangan yang cukup banyak kepada pengundang di pesta pernikahan ,serta selalu berpakaian yang sesuai dengan tingkat status social mereka ,setelah itu barulah mereka menyisihkan pendapatan untuk kenyaman mereka
8) Mahar tidak hanya gelar ,takaran ,simbolis mahar yang di diberikan kepada orang tua mempelai wanita juga ditentukan mengikuti garis keturunan ,takaran simbolis ini ,disebut harga kedudukan (sompa bug) ,selalu dibayarkan menurut jumlah kententuan adat ,dan sompa yang diterima perempuan tidak boleh lebih rendah yang diterima ibunya jika garis keturunan ayahnya lebih tinggi dari garis keturunan ibunya ,
9) Takaran selanjutnya adalah uang belanja ,terdiri dari uang dalam jumlah yang lebih banyak ,penentuan jumlah “uang belanja “ mencerminkan kedudukan yang di capai oleh orang tua pengantin perempuan






tidak tertarik kah anda menikah dengan gadis bugis secantik ini?

Posting Komentar