Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link

Fenomana Anehnya pernikahan zaman ini


[daarut-tauhiid] (KELUARGA) FENOMENA BANYAKNYA WANITA MELAJANG

Minggu, 3 Juli, 2011 23:49
Dari:
Tambahkan Pengirim ke Kontak
Kepada:
daarut-tauhiid@yahoogroups.com


FENOMENA BANYAKNYA WANITA MELAJANG
by Muhammad Trimanto*)

Akhir-akhir ini banyak kita jumpai, terutama di kota-kota besar semakin banyaknya wanita yang melajang, bahkan ada yang tidak menikah sampai akhir hayatnya. 

Banyak sekali faktor yang menyebabkan wanita melajang, di antaranya terlalu mengejar pendidikan/karir, menentukan mahar yang tinggi, mencari suami yang kaya (berharta), mencari standar/kriteria tertentu, terjebak pada paham feminisme yang salah, kurang pergaulan dan silaturrahmi, atau barangkali memang sudah niat tidak ingin menikah, dan masih banyak lagi. 

Mungkin kita semua sudah sepakat bahwa jodoh di tangan Tuhan dan kita sangat yakin akan hal itu. Tapi bukan berarti kita memaknainya secara utuh dan apa adanya. Menurut keyakinanku, takdir berjalan seiring dengan usaha (ikhtiar). Tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh, tentu kita tidak akan mencapai sesuatu. Dan ikhtiar itu harus disertai niat yang benar dan cara yang benar pula. Hal ini berlaku pula dalam hal rizki. 

Sering orang mengatakan bahwa perbandingan antara laki-laki dan perempuan di dunia ini adalah 1:2, bahkan ada yang bilang 1:3. Meskipun demikian kenyataannya, tidak sedikit wanita yang "sombong" lho. Berikut kisahnya, dan ini terjadi pada diriku sendiri.

Sejak istriku meninggal 2008 silam, keinginan untuk menikah kembali selalu ada. Ketika setahun yang lalu aku harus gagal karena urusan administrasi/kelengkapan surat (soal Akta Kematian), bulan Mei yang lalu aku pun mengalami kegagalan untuk kedua kalinya. Masalahnya adalah pihak perempuan meminta uang "sekian-sekian" yang aku tak sanggup memenuhinya. Mau tidak mau, aku harus mundur teratur. 

Pada mulanya, aku diperkenalkan kepada seseorang oleh temanku. Kami sepakat untuk taaruf di rumah murabbiyah wanita itu. Di sana saya mengungkapkan diri saya apa adanya, sejujurnya, terus terang, gamblang, bloko suto (Jawa); tidak ada yang ditutup-tutupi dan disembunyikan, apalagi sampai membagus-baguskan diri sendiri. Intinya, kalau mau ya saya seperti itu. 

Seminggu kemudian, ia menyatakan diri mau menerima saya, bahkan menyatakan siap jika harus hidup di kampung saya di Solo. Akhirnya proses silaturrahmi ke rumah keluarga, dilanjutkan dengan khitbah. Apa-apa yang telah aku ungkapkan tentang diri saya di rumah murabbiyah, aku sampaikan kembali di hadapan keluarganya. Wakil keluargaku dan keluarga dia sama-sama sepakat bahwa pernikahan akan dilaksanakan 29 Mei 2011. Keluarga dia bilang katanya mau pesta sederhana saja, mengundang saudara dan tetangga dekat.

Setelah semua surat-surat aku urus sampai selesai (biasa mondar-mandir dari Rawamangun-Lenteng Agung), langsung aku serahkan ke keluarga si wanita. Beberapa hari kemudian, saya diundang oleh keluarganya, dan kebetulan di rumah itu sedang berkumpul keluarga besarnya. Saya ditanya, adik mau ngasih "NAFKAH" berapa untuk pesta nantinya? (Lho, kagak salah tuch, belum jadi suaminya aja sudah pakai istilah nafkah segala!).

Intinya, saya bilang, saya akan bantu sesuai kemampuanku. Mereka tidak terima. Mereka bilang, pesta di Jakarta kan perlu biaya besar, belum ini belum itu dst. Ia kan anak terakhir (walau sebenarnya ia bukan yang bungsu), kasihan dong kalau tidak dipestain. Dia kan masih perawan (walau umurnya mau 36), dan berbagai alasan lainnya. 

Walau saya berusaha menjelaskan kembali tentang diri saya kepada keluarganya, mereka tetap mendebat saya, bahkan cenderung menyalahkan saya, kenapa mau nikah kok tidak siapin duit banyak, dll.

Singkat cerita, akhirnya saya mundur saja. 

*** 
Pada pernikahanku yang pertama, juga sempat ada masalah soal mahar. Ketika calonku mengetahui maharku tidak "besar" dalam ukuran dia, ia sempat mengancamku akan membatalkan pernikahan. Kalau di Mandailing maharnya minimal harus emas sekian-sekian, katanya. Sekalipun begitu, akhirnya pernikahan tetap berlangsung juga. 

Pernikahan berlangsung di kampungku (pihak pria), karenanya katanya menurut adat Mandailing, pesta pernikahan harus di tempat pria. Karena waktu itu orang tuaku masih sehat, dibuat pesta besar. Keluargaku istriku bertanya ke keluargaku, "berapa kami harus membantu untuk pesta?". Keluargaku menjawab, "tidak perlu". Mungkin karena merasa tidak enak, mereka memberikan sejumlah uang ke keluargaku. 

Kalau menurut adat Jawa (terutama di kampungku), pesta pernikahan biasanya di tempat wanita. Dan mau tidak mau, mereka harus modal sendiri. PANTANG bagi orang Jawa meminta kepada pihak laki-laki, apalagi sampai menentukan sekian-sekian. Nah, biasanya pihak laki-laki dengan KESADARAN sendiri membantu dalam bentuk makanan dan atau sejumlah uang. 

Demikian pula yang terjadi dengan adik perempuan saya yang kini mukim di Ketapang (Kalbar). Karena SADAR DIRI kalau orang tak punya dan kedua orang tua sudah sepuh dan sakit-sakitan, Lebaran kemarin ia menikah dengan pesta sederhana. Cuma mengundang saudara, tetangga dan teman-teman sekolahnya. Semacam model resepsi gitu dan diisi dengan pengajian (mengundang kyai). Busana pengantinnya Cuma busana muslimah yang murah-meriah tapi tetap terkesan mewah dan tidak ngisin-ngisini. Untuk acara ini pun, lagi-lagi orang tuaku tidak meminta bantuan SEPESER pun dari pihak laki-laki. 

Suami adik perempuanku ini Cuma orang desa, bahkan sangat pelosok sekali, tepatnya di daerah pesisir Kebumen. Syarat orang tuaku tidaklah sulit dan rumit; asal dia lelaki baik-baik, mau shalat dan bertanggung jawab; itu saja. Dan Allah Maha Adil, bulan ini adikku mau melahirkan. Mereka hidup bahagia walau harus tinggal di pedalaman Kalimantan dengan segala kesederhanaannya.

*** 
Ketika umur sudah sedemikian banyak dan keadaan ekonomi juga sama dengan saya, sama-sama orang tidak punya; tapi masih juga "jual mahal". Lantas, apa HASIL dari tarbiyah yang telah bertahun-tahun dilakoninya?

Di tarbiyah sering disampaikan; menikahlah karena agamanya, permudahlah orang yang mau menikah, segeralah menikah nanti Allah yang akan mencukupi, dsb; tapi pada praktikknya kan tidak seperti itu. Mau lama di pesantren, mau sudah bertahun-tahun tarbiyah; bisa saja mereka tidak malah paham agama.

Sepertinya aku merasa kapok kalau dicarikan jodoh via murabbi/yah, lebih baik cari sendiri seperti istriku yang pertama. Aku juga kapok jika harus nyari di Jakarta, aku mau cari orang di kampungku sendiri aja, apalagi aku ada rencana menetap di Solo. Cari orang yang sederhana, tidak banyak menuntut, tidak neko-neko, tidak materialistis. 

Nggak papa "puasa panjang" untuk sementara (hehe…). Suatu saat nanti, aku yakin akan mendapatkan yang terbaik. Cowok gicu loch! Masih muda lagi. Nggak perlu khawatir. Orang Jawa bilang, wong lanang iku aji.

Biarlah aku mensyukuri "kebebasan" ini. Aku bisa fokus nulis, bisa ke RC Depok, bisa belajar ke Ciputat, bisa ke mana aja, termasuk bisa eksis-narsis di FB, hehe... Aku juga berusaha berdamai dengan takdir. Terus-menerus melawan takdir hanyalah akan menyakiti diri sendiri. Mencoba sumeleh,lembah manah, jembar atine, nrimo, agar supaya uripe ayem-tentrem. 

Aku cukup bersyukur sudah punya dua hati yang lucu-lucu (Fauziah Azzahra 5,5 tahun dan M. Abdul Aziz 4,5 tahun). Toh masih banyak yang seumuran saya malah belum menikah, atau sudah menikah tapi belum dikaruniai anak. Lebih baik aku fokus ngurus kedua anakku, tidak usah mikirin yang lain dulu. 

Posting Komentar