Haramnya Natal Bersama Mengancam Akidah Islam
[Al-Islam edisi 685, 20 Desember 2013 M – 16 Shafar 1435 H]
Selama bulan Desember, suasana kristiani begitu terasa. Asesoris
khas Natal ada di mana-mana. Lagu-lagu kristiani terus diperdengarkan. Para
pelayan dan pegawai diharuskan memakai atribut Natal dan yang terfavorit
asesoris Sinterklas. Tak sedikit dari mereka adalah muslim, bahkan ada yang
berkerudung. Seringkali mereka merasa terpaksa, jika tidak melakukannya mereka
takut diberhentikan (dipecat).
Hampir semua media, terutama media elektronik, dijejali acara
bernuansa Natal dan Tahun Baru. Walhasil, negeri muslim ini selama bulan
Desember seolah menjelma layaknya negeri kristen.
Sarat Motif Ekonomi dan Politik
Secara ekonomi, para kapitalis paling banyak untung dari semarak
Nata. Di Barat, penjualan ritel meningkat tajam di akhir tahun. Di Amerika
Serikat, menurut data US Census Bureau, rata-rata kenaikan penjualan ritel di bulan Desember adalah
yang tertinggi, mencapai 16 persen dengan pangsa pasar 10 persen dari total
penjualan dalam setahun. Inilah yang disebut sebagai christhmas
season.
Di negeri Muslim, para pebisnis yang rata-rata Kristen pun ingin
meraup untung seperti di negeri Kristen. Mereka ingin Natal bisa seperti
momentum Idul Fitri di mana penjualan dapat mencapai 20-30 persen dari total
penjualan dalam setahun. Diantara caranya, semarakkan menyambut Natal dengan
pesta diskon dan bermacam hadiah, dengan disertai semarak asesoris dan suasana
Natal.
Selain motif ekonomi, motif politik juga tak ketinggalan. Kaum
Kristen ingin menunjukkan eksistensi dan mungkin dominasi mereka di negeri
muslim. Disamping itu, moment Natal dijadikan momen terpenting untuk menanamkan
ide sinkretisme dan pluralisme. Jika ini berhasil maka akidah umat akan makin
lemah.
Semarak Natal pun sarat dengan proyek westernisasi, menanamkan budaya Barat agar dekat kepada kaum
Muslim dan bahkan diadopsi. Ditampakkanlah budaya hura-hura, pergaulan bebas,
dan menghambur-hamburkan harta dalam momentum Natal dan Tahun Baru. Kaum Muslim
didorong sedemikian rupa agar mengambil budaya Barat dan makin jauh dari budaya
Islam.
Patut diingat, misi Kristen tidak lepas dari misi penjajahan.
Itu adalah bagian dari trilogi penjajahan yakni gold, glory, dangospel (kekayaan alam, kejayaan, dan kristenisasi). Maka pembaratan
tidak bisa dipisahkan dari upaya misionaris menggiring umat Islam keluar dari agamanya.
Sarat Misi Kristen, Pluralisme, dan
Sinkretisme
Monentum Natal dijadikan ajang untuk mengemban misi menyebarkan
misi Kristen. Karenanya umat Kristiani sangat serius merayakan Natal dan Tahun
Baru untuk menarik minat kaum lainnya, termasuk Islam. Perayaan Natal Bersama
(PNB), dijadikan salah satu uslub penting untuk menyebarkan misi Kristen, agar
umat manusia mengenal doktrin kepercayaan Kristen, dengan mempercayai Tuhan
Yesus sebagai juru selamat, manusia akan selamat. Karena itulah, ajakan untuk
bersama-sama ikut merayakan natal atau setidaknya mengucapkan selamat natal
begitu gencar dengan berbagai bentuk, cara, dan dalih.
Seruan ikut serta dalam perayaan Natal, tak lain adalah kampanye
ide pluralisme yang mengajarkan kebenaran semua agama. Ajaran ini mengajak umat
untuk menganggap agama lain juga benar. Khusus dalam konteks natal, itu berarti
umat muslim didorong untuk menerima kebenaran ajaran kristen, termasuk menerima
paham trinitas dan ketuhanan Yesus.
Seruan itu juga merupakan propaganda sinkretisme,
pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan
hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal bersama dan tahun baru,
sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun
baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan
kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas. Tidak boleh dikompromikan!
Jika mereka menyambut dan memberi penghargaan karena umat Islam
telah menerima apalagi ikut serta dalam perayaan Natal bersama, maka sungguh
itu adalah ukuran bahwa umat telah mengikuti millah, jalan hidup dan agama mereka. Sebab Allah SWT
telah memperingatkan kita dalam firman-Nya:
﴿وَلَن
تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ﴾
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (TQS al-Baqarah [2]:
120)
Haram Ikut Merayakan atau Mengucapkan Selamat
Natal
Ucapan selamat mengandung doa dan harapan kebaikan untuk orang
yang diberi selamat. Juga menjadi ungkapan kegembiraan dan kesenangan bahkan
penghargaan atas apa yang dilakukan atau dicapai oleh orang yang diberi
selamat.
Sementara perayaan Natal adalah peringatan kelahiran anak Tuhan
dan Tuhan anak. Dengan kata lain itu adalah perayaan atas kesyirikan
menyekutukan Allah SWT. Lalu bagaimana mungkin, umat Islam mengucapkan selamat,
dengan semua kandungannya itu, kepada orang yang menyekutukan Allah? Padahal
jelas-jelas, Allah SWT menyatakan mereka adalah orang kafir (QS al-Maidah [5]:
72-75), yang di akhirat kelak akan dijatuhi siksaan yang teramat pedih.
Disamping itu, keyakinan Trinitas di sisi Allah adalah dosa dan kejahatan yang
sangat besar, kejahatan yang hampir-hampir membuat langit pecah, bumi belah,
dan gunung-gunung runtuh (lihat QS Maryam [19]: 90-92).
Jadi jelas sekali, mengucapkan selamat Natal dan selamat hari
raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi jika justru ikut serta
merayakannya, tentu lebih haram dan lebih berdosa.
MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk
menghadiri perayaan Natal Bersama. Dalam fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, MUI
diantaranya menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam
hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan
Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah
Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240,
juga sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram.
Ikut merayakan Natal dan hari raya agama lain hukumnya jelas
haram dan bertentangan dengan al-Quran. Ada beberapa alasan yang mendasari.
Pertama, Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ
لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا[
Dan orang-orang yang tidak memberikan
persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS al-Furqan [25]: 72).
Az-zûra ini meliputi semua bentuk kebatilan. Yang
paling besar adalah syirik, dan mengagungkan sekutu Allah. Karena itu Ibn
Katsir mengutip dari Abu al-‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak,
ar-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, az-zûra itu adalah hari raya kaum Musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).
Menurut asy-Syawkani, kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna
az-zûra, tidak menghadirinya (Fath al-Qadîr, iv/89). Menurut al-Qurthubi, yasyhadûna
az-zûra ini adalah
menghadirkan kebohongan dan kebatilan, serta menyaksikannya. Ibn ‘Abbas,
menjelaskan, makna yasyhadûna az-zûra adalah menyaksikan hari raya orang-orang
musyrik. Termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya
mereka.
Kedua, perayaan Natal adalah bagian dari ajaran agama, karena itu
merayakannya bagian dari ritual agama mereka. Orang Islam yang merayakannya,
bukan hanya maksiat, tetapi bisa sampai murtad jika disertai dengan I’tiqad,
karena, telah melakukan ritual agama lain.
Ketiga, Rasul melarang kita menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir, maka lebih dari menyerupai tentu
lebih tidak boleh lagi. Merayakan Natal, bukan hanya menyerupai orang Kristen,
tetapi lebih dari itu justru telah mempraktikkan bagian dari ritual mereka.
Selain tidak boleh menghadiri Natal Bersama, kaum Muslim juga
dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan. Allah
berfirman:
﴿إِنَّ
الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang suka perkara
keji (fakhisyah) itu tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, maka mereka berhak
mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (TQS an-Nur [24]: 19)
Menyebarkan fakhisyah itu bukan hanya masalah pornografi dan pornoaksi, tetapi juga
semua bentuk kemaksiatan. Menyemarakkan Perayaan Natal, meramaikan dan
menyiarkannya jelas menyebarluaskan kekufuran dan syirik yang diharamkan. Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak
diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula
bagi kaum Muslimin menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta
hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl
al-Dzimmah, i/235).
Para ulama dahulu juga telah jelas menyatakan haramnya
menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Baihaqi menyatakan, “Kaum Muslimin
diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” Al-Qadhi Abu Ya’la berkata, “Kaum Muslimin telah
dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslimin dilarang
untuk merayakan hari raya kaum musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu
(hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang
digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth
al-Mustaqîm, hal. 201).