MK meresmikan Perzinahan dan Kumpul Kebo?
LET's kill all
the lawyers merupakan ungkapan Shakespeare untuk menunjukkan bahwa ahli-ahli hukum
malah merusak hukum itu sendiri. Dalam hal ini, kurang lebih cocok dengan para
ahli hukum. Dalam menerjemahkan Putusan MK Nomor 46/ PUU-XIV/2016 mengenai uji
materiil KUHP soal legalisasi Kumpul
kebo dan LGBT.
Sebagaimana
bisa kita temukan dalam Putusan MK Nomor 132/PUU. XIII/2015 yang menguji pasal
prostitusi di KUHP dikatakan bahwa MK tidak dapat menjadi criminal policy maker
di mana yang dapat merumuskan kebijakan pidana hanyalah DPR dan MK menjadi
negative legislature yang hanya dapat menghapus ketentuan, bukan menciptakan
ketentuan Pendapat tersebut bahkan oleh MK disebut sebagai opinio juristsive necessitates
atau pandangan umum yang diterima para yuris sebagai hukum sehingga MK
tidak dapat melakukan kriminalisasi
tersebut.
Kewenangan MK tidak sampai untuk menciptakan sebuah tindak pidana baru. Walaupun jika diperhatikan, tidak sedikit kasus. Selain itu, harus dilihat, KUHP warisan Belanda yang telah disahkan sebagai KUHP sejak awal hanya memidana perzinaan bagi yang memiliki ikatan perkawinan. Dengan begitu, itu bukan kesalahan MK.
Melainkan memang kebijakan pembentuk UU untuk tidak memidana LGBT Sebagai argumentasi lebih lanjut dalam melakukan kriminalisasi, pembentuk undang-undang harus meminalisasi. Salah satunya jangan sampai menim bulkan over kriminalisasi (penggunaan pidana yang berlebihan)
Kewenangan MK tidak sampai untuk menciptakan sebuah tindak pidana baru. Walaupun jika diperhatikan, tidak sedikit kasus. Selain itu, harus dilihat, KUHP warisan Belanda yang telah disahkan sebagai KUHP sejak awal hanya memidana perzinaan bagi yang memiliki ikatan perkawinan. Dengan begitu, itu bukan kesalahan MK.
Melainkan memang kebijakan pembentuk UU untuk tidak memidana LGBT Sebagai argumentasi lebih lanjut dalam melakukan kriminalisasi, pembentuk undang-undang harus meminalisasi. Salah satunya jangan sampai menim bulkan over kriminalisasi (penggunaan pidana yang berlebihan)
Akan tetapi,
apakah dalam kondisi saat ini penegak hukum serta masyarakat siap menghadapi pemidanaan perzinaan dimana MK bukan wilayahnya untuk
membuat UU walaupun secara norma masyarakat mengkarapkan MK berlaku demikian.
Ketidaksiapan tersebut menjadikan
pemidanaan hal itu harus melalui jalur pembentuk UU, bukan MK.
Untuk masalah
perzinaan, kita dapat melihat seberapa jauh pembentuk undang-undang memahami
asasnya dalam RUU KUHP RUU KUHP 2017 pasal 484 ayat 1 pada dasarnya telah mengakomodasi permohonan pemohon
untuk mengkriminalisasi perbuatan zina suka sama suka.
Namun, panitia
kerja DPR masih memperdebatkan pasal tersebut Tiga fraksi menginginkan pencabutan dan tujuh
fraksi setuju dengan pasal itu sebagaimana tercatat pada catatan panitia kerja yang bertanggal 14Desember
2016. Seharusnya pengaturan perzinaan dapat melihat sifat ketercelaan dari perzinaan yang
pada dasarnya jelas melanggar norma agama dan living law di masyarakat.
Sebagaimana empat hakim MK yang berbeda perzinaan, menyatakan overspe (perzinaan) seharusnya melingkupi bagi yang sudah memiliki ikatan perkawinan (adultery) dan yang belum memiliki ikatan perkawinan fornication) sesuai dengan norma agama yang ada di Indonesia Selain itu, dalam politik hukum pidana dikenal juga kebijakan non-penal-di mana pendekatannya cenderung ke pendekatan sosial.
Sebagaimana empat hakim MK yang berbeda perzinaan, menyatakan overspe (perzinaan) seharusnya melingkupi bagi yang sudah memiliki ikatan perkawinan (adultery) dan yang belum memiliki ikatan perkawinan fornication) sesuai dengan norma agama yang ada di Indonesia Selain itu, dalam politik hukum pidana dikenal juga kebijakan non-penal-di mana pendekatannya cenderung ke pendekatan sosial.