Saat Pahlawan Itu Dipaksa Menjadi Pelacur Dalam Sebuah Drama Nasional
 
 Ilustrasi/Admin (shutterstock)
“Saya tidak mungkin menceritakan  ini semua di blog saya dok, tetapi jujur saja saya sedih kembali disuruh  melacurkan integritas saya tahun ini..” Itulah pesan di inbox facebook saya beberapa hari yang lalu.
 “Lho, sandiwara ujian nasionalnya masih? Kan kelulusan ditentukan sekolah?” Kataku.
 “Masih dok. Kan kalau keseluruhan sekolah nilainya jatuh, dimarahin dan diberi sanksi juga oleh pejabatnya.” Kata si teman yang guru muda ini.
 “Katanya ada ancaman ke  sekolah-sekolah, kalau ketahuan curang maka akreditasinya akan  diturunkan? Dari A ke B begitu? Saya baca di koran, lho.” Selidikku.
 “Dan pejabat yang sama mengancam ke  kepala sekolah-kepala sekolah, kalau nila UN sekolahnya jelek maka  jabatan mereka akan diturunkan.” Jawaban inbox message berikutnya.
 Menarik! Ke media ada ancaman ke sekolah  berkonotasi A dan ke kepala sekolah ada ancaman B yang  berkonotasi  sebaliknya (menurut pengakuan si teman).
 Lalu dia bercerita, sekolah-sekolah dibagi  atas rayon-rayon. Dan guru pengawas biasanya dari rayon yang sama. Saat  akan UN, setiap rayon akan membuat rapat yang bertujuan ‘menyukseskan’  UN. Jadi sudah ada kongkalikong antar sekolah untuk melegalkan contek massal UN.
 “Ya, kalau seluruh negara sudah terpola begitu, mau apa lagi?” Jawabku.
 “Saya masih muda, dok. Guru itu  pahlawan tanpa tanda jasa, pendidik. Tetapi kami dipaksa melakukan  hal-hal yang merendahkan diri kami di hadapan murid-murid. Masak sebelum  ujian ada murid yang dengan santainya bilang, ‘bapak sudah belajar belum, nanti jawab soalnya salah, hehehe!’ Saya cuma bisa melotot, sedih dok benar-benar merasa tergadai!”
 Waduh, benar juga ya. Walaupun aku dokter,  juga guru di sebuah akademi perawat. Saya sangat tersinggung kalau  murid-muridku itu menganggap remeh intelektualitasku dan integritasku.
 Makanya kalau ada murid yang menanyakan alamat atau mengajak ketemu di luar jam pelajaran saya tidak mau.
 Takutnya diremehkan dan dilecehkan oleh muridku dan dianggap bak pelacur intelektual.
 Dan guru serta sekolah itu pendidik. Jika  tahun ini UN lagi-lagi memaksa sekolah serta guru melacurkan diri  (setidaknya menurut pengakuan temanku yang guru sekolah menengah), maka  saya yakin murid-murid yang lulus tahun ini akan terpatri di dalam  hatinya bahwa menghalalkan segala cara untuk mencapai kesuksesan adalah  direstui oleh sekolah.
 Dan guru-guru yang idealis itu tahun ini  ternyata kembali harus menangis, kembali merasa dipaksa melacur dan  kembali harus merasa gagal jadi pendidik.
 Karena skenario menyukseskan UN itu sudah  tersepakati secara nasional. Maka dramanya harus tetap digelar. Para  pemain yang memerankan diri sebagai murid, pengawas dan tim sukses telah  hafal dengan naskahnya masing-masing.
 Dan ketika saatnya pertunjukan dimulai, sang sutradara tinggal menyebutkan: ACTION! Seluruh pelakon menjalankan bagiannya masing-masing sesuai naskah yang dibagikan dan saat diucapkan kata: CUT! Semua pemain bertepuk tangan riang dan kamera dimatikan.
 Ups! Sorry, seorang pelakon guru  mengaku hatinya menangis saat disuruh melakonkan peran pelacur. Dia  seharusnya memerankan peran pahlawan walaupun tanpa tanda jasa, dia  merasa berhak dengan peran itu.
 Ah, andaikan sang sutradara mau  mengubah skenarionya tahun depan, supaya temanku sang guru kembali ke  kodratnya memerankan lakon pahlawan gagah itu, supaya jangan sampai  dikencingi murid-muridnya sambil berlari.
 (Teruntuk teman sang guru idealis yang  merasa diperkosa lagi integritasnya di UN tahun ini. Semoga ini mewakili  curahan hatimu, walau kita semua tahu ini sudah basi!)
http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/21/saat-pahlawan-itu-dipaksa-menjadi-pelacur-dalam-sebuah-drama-nasional/
http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/21/saat-pahlawan-itu-dipaksa-menjadi-pelacur-dalam-sebuah-drama-nasional/